BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang
seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu
pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini
terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak terlepas dari biangkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigm (shifting paradigm) merupakan tuntutan sejarah,
sehingga senantiasa relevan dan konstektual bahkan berdaya guna. Ilmu
pengetahuan termasuk juga agama, bila membuktikan dirinya sebagai bagian dari
peradaban dan historisitas manusia yang senan tiasa berubah dan berkembang.
Tantangan selanjutnya adalah datang dari ranah budaya atau kultur sosial
masyarakat lokal (little tradition). Agama sebagai sistem nilai, norma
dan ajaran yang dominan (grand culture), berhadapan dengan sistem nilai
yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir
dari kearifan lokal (local wisdom) yang secara turun-temurun dipegang
oleh sebuah masyarakat sebagai satu ajaran yang harus dijunjung tinggi.
Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu
ketegangan, konflik dan perpecahan.
Dalam konteks Muhammadiyah, meninjau ulang paradigma yang selama ini
dipegang mutlak dilakukan. Sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya
misalnya, lebih bersifat monolitik. Kecenderungan ini bisa dilihat dari identitas
yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam murni, disamping identitas
lainnya sebagai gerakan modernisme.
Sadar akan kelemahan itu, maka Muhammadiyah mencoba untuk merumuskan
ulang pandangan teologisnya, terutama pandangannya mengenai kebudayaan. Pilihan
teologi yang monolitik terhadap persoalan budaya ini kemudian dikaji ulang.
Wacana ini merebak mengiringi Muktamar di Banda Aceh pada tahun 1995. Momentum
ini menjadi tonggak awal Muhammadiyah untuk merumuskan strategi gerakan dan
dakwah (nalar gerakan), sehingga selalu relevan dengan kebutuhan zman.
Konsekuensinya, seluruh bangunan paradgmatik yang selama ini dipegang
Muhammadiyah mengalami pergeseran dan penyempurnaan. Tajdid (pembaharuan)
sebagai nalar gerakan Muhammadiyah bisa masuk pada ranah epistemologi gerakan,
sehingga Muhammadiyah bisa mengkritisi dirinya sendiri.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah Memahami
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid ialah :
1.
Menjelaskan pengertian tajdid dalam
muhamadiyah
2.
Menjelaskan konsep tajdid dalam
muhammadiyah
3.
Mendeskripsikan model-model tajdid
muhammadiyah
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah Memahami Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid ialah :
1.
Memahami pengertian tajdid dalam muhamadiyah
2.
Memehami konsep tajdid dalam muhammadiyah
3.
Mengetahui model-model tajdid
muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tajdid
dalam Muhammadiyah
Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Tengah. Persyarikatan
Muhammadiyah bertekad makin memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun
gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini.
Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan.
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai
dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung
pengertian purifikasi dan reformasi. Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan Alquran
dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan
ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau
dinamisasi ( pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.
Tajdid dalam pengertian ini sangat
diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini
bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi antar budaya yang sangat kompleks.
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah,
tajdîd memiliki dua arti, yakni:
1. Pemurnian;
2. Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti
“pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang
berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam
arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan
tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal
pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu
watak dari ajaran Islam.
2.2
Konsep Tajdid dalam
Muhammadiyah
K. H. A. Badawi,
ketua PP Muhammadiyah 1962 – 1968 menulis dalam suara muhammadiyah JUli 1967
tentang Tajdid dan Muhammadiya. Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan Islam
yang bermaksud dakwah, mengajak kepada Islam. Bagi yang telah Islam, ajakan itu
bersifat tajdid, yaitu kembali kepada ajaran Islam yang asli murni, seperti
yang telah disampaikan oleh Nabi Muhhamad SAW (hadits yang sahih) serta yang
dikerjakan oleh sahabt dan ulama salaf yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan
Hadits, dengan mempergunakan akal, pikiran dan dengan penyelidikan yang cermat,
tidak bertaklid.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan
pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah
memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa
beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran).
Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Tarjih adalah
pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi
Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi.
Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid),
ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak
mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat
masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid selalu berbicara
prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah.
Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah
konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah,
yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
2.3
Model-Model Tajdid
Muhammadiyah
Secara garis besar, prinsip dasar pembaharuan Islam
termasuk Muhammadiyah setidaknya terdapat dua unsur yang saling
berkaitan. Pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan
Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci dengan menemukan substansi
ajaran baik yang bersifat aqidah maupun dengan penerapan praksisnya. Kedua,
upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan
pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman yang kontemporer.
Dalam kaitan dengan pembaharuan (tajdid), terdapat lima agenda penting
yang menjadi focus Muhammadiyah dengan melakukan gerakannya, yaitu:
a. Tajdid al-Islam yang menyangkut tandhifal-aqidah yaitu purifikasi
terhadap ajaran Islam (Sujarwanto 1990: 232).Tandhifal-aqidah ini
berusaha untuk membersihkan ajaran-ajaran Islam dari unsur takhayul,
bid’ah dan khurafat(TBC).
b. Pembaharuan yang menyangkut masalah teologi. Dalam
bidang teologi, Muhammadiyah sudah sewajarnya untuk mengkaji ulang
konsep-konsep teologi yang lebih responsif dan tanggap terhadap persoalan
zaman. Pembaharuan yang dilakukan adalah untuk membicarakan persoalan-persoalan
kemanusiaan, di samping persoalan-persoalan ke-Tuhanan.
c. Karena Islam menyangkut persoalan dunia dan
akherat, ideologi dan pengetahuan serta dimensi yang menyangkut kehidupan
manusia, maka tajdid diorientasikan pada pengembangan serta peningkatan
kualitas kemampuan sumber daya manusia (Islam).
d. Pembaharuan Islam menyangkut organisasi. Gerakan
umat Islam harus rapi, terorgansir dan memiliki manajemen yang professional,
sehingga mampu bersaing dengan yang lainnya.
e. Pembaharuan dalam bidang etos kerja. Point ini juga
menjadi focus perhatian Muhammadiyah karena etos kerja umat Islam saat
berdirinya Muhammadiyah sangat rendah.
Bagi Muhammadiyah, tajdid sudah merupakan nalar dan
karekter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid sudah menjadi tema yang
mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam kenyatannya, gerakan tajdid
muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing merupakan tanggapan terhadap
persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya. Persoalan yang dimaksud muncul
dalam bentuk, pertama, tantangan kemunduran umat Islam dan yangkedua,
tantangan yang muncul dari kemajuan umat Islam. (Maryadi Abdullah 2000: 26).
Atas dasar itu, maka tajdid mengemban amanah sebagai berikut:
a. Mengembalikan semua bentuk keagamaan kepada contoh
masa awal Islam. Hal ini dilakukan untuk membentengi keyakinan
aqidah Islam serta bentuk-bentuk ibadah yang lain yang berasal dari
ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini dinamakan dengan purifikasi.
b. Dengan landasan universalitas Islam, tajdid
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan
semangat zaman dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalamm hal ini, biasanya
dilakuakan pada aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan,
muamalah, dan persoalan-persoslan kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal
dengan gerakan modernisasi atau dinamisasi.
Kerangka tersebut sesuai dengan rumusan tarjih yang
menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan
pembaharuan (dianmisasi). Dengan formulasi ini, maka Muhammadiyah menyatakan
bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan
ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua,
pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke
depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos
kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah (BRM 1997: 47-48).
Dialektika epistmologi ini berkembang dengan
kontektualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga
selalu sesuai dengan semangat perubahan yang terjadi di masyarakat.
Kontektualisasi merupakan upaya dialogis antara agama yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh teks suci/ wahyu, dengan realitas kesejarahan manusia
(sosio-historis) yang terbingkai dalam ranah budaya atau peradaban. Kedua
dimensi ini diharapkan bisa berjalan berdampingan seningga membentuk simponi
sosial yakni humanitas, dan religiusitas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam
Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid
dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada
pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini
adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya
untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur
al-dunyawiyyah. Pada pase ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang
dilakukan muhammadiyah. Dan yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan
muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan,
pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang
sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah
yang namanya amal syahadah.
3.2
Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang
perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi
ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang
berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya
baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang
sebenarnya. Disinilah peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya
tajdid dari pemikiran – pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan –
perubahan kehidupan tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang
sesuai dengan Al – Qur’an dan Hadist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar