Minggu, 25 Januari 2015

Arti Tajdid

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang

Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak terlepas dari biangkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigm (shifting paradigm) merupakan tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan konstektual bahkan berdaya guna. Ilmu pengetahuan termasuk juga agama, bila membuktikan dirinya sebagai bagian dari peradaban dan historisitas manusia yang senan tiasa berubah dan berkembang.
Tantangan selanjutnya adalah datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal (little tradition). Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan (grand culture), berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal (local wisdom) yang secara turun-temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai satu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan.
Dalam konteks Muhammadiyah, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang mutlak dilakukan. Sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya misalnya, lebih bersifat monolitik. Kecenderungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam murni, disamping identitas lainnya sebagai gerakan modernisme.
Sadar akan kelemahan itu, maka Muhammadiyah mencoba untuk merumuskan ulang pandangan teologisnya, terutama pandangannya mengenai kebudayaan. Pilihan teologi yang monolitik terhadap persoalan budaya ini kemudian dikaji ulang. Wacana ini merebak mengiringi Muktamar di Banda Aceh pada tahun 1995. Momentum ini menjadi tonggak awal Muhammadiyah untuk merumuskan strategi gerakan dan dakwah (nalar gerakan), sehingga selalu relevan dengan kebutuhan zman. Konsekuensinya, seluruh bangunan paradgmatik yang selama ini dipegang Muhammadiyah mengalami pergeseran dan penyempurnaan. Tajdid (pembaharuan) sebagai nalar gerakan Muhammadiyah bisa masuk pada ranah epistemologi gerakan, sehingga Muhammadiyah bisa mengkritisi dirinya sendiri.

1.2       Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah Memahami Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid ialah :
1.      Menjelaskan pengertian tajdid dalam muhamadiyah
2.      Menjelaskan konsep tajdid dalam muhammadiyah
3.      Mendeskripsikan model-model tajdid muhammadiyah

1.3        Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah Memahami Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid ialah :
1.        Memahami pengertian tajdid dalam muhamadiyah
2.        Memehami konsep tajdid dalam muhammadiyah
3.        Mengetahui model-model tajdid muhammadiyah









BAB II
PEMBAHASAN


2.1                  Pengertian Tajdid dalam Muhammadiyah

Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini. Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan.
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi. Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi ( pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.
Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi antar budaya yang sangat kompleks.
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
1.      Pemurnian;
2.      Peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
2.2                  Konsep Tajdid dalam Muhammadiyah

              K. H. A. Badawi, ketua PP Muhammadiyah 1962 – 1968 menulis dalam suara muhammadiyah JUli 1967 tentang Tajdid dan Muhammadiya. Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan Islam yang bermaksud dakwah, mengajak kepada Islam. Bagi yang telah Islam, ajakan itu bersifat tajdid, yaitu kembali kepada ajaran Islam yang asli murni, seperti yang telah disampaikan oleh Nabi Muhhamad SAW (hadits yang sahih) serta yang dikerjakan oleh sahabt dan ulama salaf yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits, dengan mempergunakan akal, pikiran dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaklid.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
2.3                  Model-Model Tajdid Muhammadiyah

Secara garis besar, prinsip dasar pembaharuan Islam termasuk Muhammadiyah setidaknya terdapat dua unsur yang saling berkaitan. Pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci dengan menemukan substansi ajaran baik yang bersifat aqidah maupun dengan penerapan praksisnya. Kedua, upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman yang kontemporer. 
Dalam kaitan dengan pembaharuan (tajdid), terdapat lima agenda penting yang menjadi focus Muhammadiyah dengan melakukan gerakannya, yaitu:
a.       Tajdid al-Islam yang menyangkut tandhifal-aqidah yaitu purifikasi terhadap ajaran Islam (Sujarwanto 1990: 232).Tandhifal-aqidah ini berusaha untuk membersihkan ajaran-ajaran Islam dari unsur takhayul, bid’ah dan khurafat(TBC).
b.      Pembaharuan yang menyangkut masalah teologi. Dalam bidang teologi, Muhammadiyah sudah sewajarnya untuk mengkaji ulang konsep-konsep teologi yang lebih responsif dan tanggap terhadap persoalan zaman. Pembaharuan yang dilakukan adalah untuk membicarakan persoalan-persoalan kemanusiaan, di samping persoalan-persoalan ke-Tuhanan.
c.       Karena Islam menyangkut persoalan dunia dan akherat, ideologi dan pengetahuan serta dimensi yang menyangkut kehidupan manusia, maka tajdid diorientasikan pada pengembangan serta peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia (Islam).
d.      Pembaharuan Islam menyangkut organisasi. Gerakan umat Islam harus rapi, terorgansir dan memiliki manajemen yang professional, sehingga mampu bersaing dengan yang lainnya.
e.       Pembaharuan dalam bidang etos kerja. Point ini juga menjadi focus perhatian Muhammadiyah karena etos kerja umat Islam saat berdirinya Muhammadiyah sangat rendah.
Bagi Muhammadiyah, tajdid sudah merupakan nalar dan karekter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid sudah menjadi tema yang mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam kenyatannya, gerakan tajdid muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing merupakan tanggapan terhadap persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya. Persoalan yang dimaksud muncul dalam bentuk, pertama, tantangan kemunduran umat Islam dan yangkedua, tantangan yang muncul dari kemajuan umat Islam. (Maryadi Abdullah 2000: 26). Atas dasar itu, maka tajdid mengemban amanah sebagai berikut:
a.       Mengembalikan semua bentuk keagamaan kepada contoh masa awal Islam. Hal ini  dilakukan untuk membentengi keyakinan aqidah Islam serta bentuk-bentuk ibadah yang lain yang berasal  dari ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini dinamakan dengan purifikasi.
b.      Dengan landasan universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat zaman dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalamm hal ini, biasanya dilakuakan pada aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan, muamalah, dan persoalan-persoslan kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal dengan gerakan modernisasi atau dinamisasi.
Kerangka tersebut sesuai dengan rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan formulasi ini, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimahKedua, pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah (BRM  1997: 47-48).
Dialektika epistmologi ini berkembang dengan kontektualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga selalu sesuai dengan semangat perubahan yang terjadi di masyarakat. Kontektualisasi merupakan upaya dialogis antara agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh teks suci/ wahyu, dengan realitas kesejarahan manusia (sosio-historis) yang terbingkai dalam ranah budaya atau peradaban. Kedua dimensi ini diharapkan bisa berjalan berdampingan seningga membentuk simponi sosial yakni humanitas, dan religiusitas.
















                                          






BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ketiga, menjelaskan bagaimana pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Dan yang terakhir pentingnya pembaharuan yang dilakukan muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang. Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
3.2                   Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang  sebenarnya. Disinilah peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran – pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan kehidupan tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al – Qur’an dan Hadist.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar